Recent Posts

Selasa, 24 November 2009

Sebuah Dongeng di Sisi Senja

Dua orang insan manusia yang melihat dunia dengan cara pandang yang sangat berbeda. Yang satu percaya bahwa di dalam hidup semua sudah ditakdirkan dan sudah diatur oleh Tuhan. Sedangkan manusia yang lain beranggapan bahwa takdir terletak di dalam genggaman tangannya dan tergantung seberapa keras ia harus berjuang dan berusaha.

Arana Puteri dan Putera Langit.


“Aku ingin diperjuangkan. Aku ingin dihargai. Aku terlalu lelah untuk berjuang sendiri, Puteri.”

Arana terhenyak.
Setiap desir di dalam tubuhnya mencoba mengatakan sesuatu. Namun tidak ada lagi kata yang bisa terucap. Perpisahannya dengan langit terdengar begitu, mantap.

“Pada saat seperti ini aku tak lagi bisa merengek dan memohonmu untuk tetap tinggal, Puteri. Aku harus bersikap seperti layaknya seseorang dewasa yang bisa menerima keputusanmu dengan lapang dada.”

‘Aku tidak bisa memaksa orang yang kucintai untuk terus bersamaku dan berharap suatu saat nanti ia akan belajar untuk melihat cinta dari mataku. Perasaan memiliki dasar yang dalam. Dan kita semua tahu, tidak mudah merubah suatu dasar.’ Batin langit, dengan getir.

Di malam itu akhirnya ia melepaskan Arana dan terus mencoba melawan semua harapannya yang berkata Arana akan kembali padanya. Hanya butuh waktu. Langit percaya bahwa ada hal hal yang bahkan sang waktu pun tidak akan pernah bisa memudarkan, bahkan menghilangkannya. Seperti perasaan cinta. Dan waktu itu sendiri yang akan menguji cinta mereka.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sudah hampir satu jam lamanya Arana duduk termenung di atas tempat tidurnya. Di hadapannya terpapar foto-foto dan semua barang yang mengingatkannya kepada Langit. Langit-nya. Tempat Arana biasa menyandarkan seluruh hidupnya. Arana mempercayai Langit-nya.

‘Mungkin cinta saja tidak cukup. Kalau memang tidak bisa lagi, tidak usah dipaksakan. Mungkin sudah takdirnya. Aku tidak mau menyakiti Langit lebih jauh.’

Bahkan tumpuan kata-kata tersebut pun tak mampu lagi mengukir perasaan hatinya.

‘Namun, apakah harus sesakit ini?’

Arana telah kehilangan Langit-nya. Kehilangan tempatnya berpijak dan seluruh isi alam semestanya di langit itu. Arana tidak tahu harus mulai darimana. Tetapi Ia telah membuat keputusan itu dan tidak boleh menyesalinya.

‘Semua sudah ada jalan-Nya.’

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

‘Arana Puteri, akankah engkau temui juga, celah kosong di relungku semenjak ketiadaanmu? Aku kehilanganmu. Aku rindu, namun terpasung janji hati.’


TO BE CONTINUED